Membaca al-Qur'an Bagi Wanita Haidh
Membaca al-Qur'an Bagi Wanita Haidh
Permasalahan itu adalah merupakan permasalahan khilafiyah di
kalangan para ulama, baik pada masa dahulu maupun sekarang. Kami akan
memaparkan permasalahan tersebut dengan menjelaskan dalil-dalil dari
pihak-pihak yang berbeda pendapat tersebut, mudah-mudahan akan lebih
memperjelas permasalahan tersebut.
Pertama : Hukum Wanita Haidh berdzikir Kepada Allah Dan Membaca Al Qur’an
Permasalahan membaca Al Qur’an bagi wanita haidh ini memang ada
perselisihan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak
membolehkan. Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al
Qur’an dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan
Ahmad, dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka
mengatakan: “Asal dalam perkara ini adalah halal. Maka tidak boleh
memindahkan kepada selainnya kecuali karena ada larangan yang shahih
yang jelas.”
Al Imam Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan
sanadnya sampai kepada Ummu ‘Athiyah radhiallahu 'anha, ia berkata:
“Kami dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.)
pada Hari Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya
dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang (yang
shalat), mereka bertakbir dan berdo’a dengan takbir dan doanya
orang-orang yang hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan
kesuciannya.” (Diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 10 : ‘Shalat Iedain’)
‘Aisyah radhiallahu 'anha berkata: “Aku datang ke Makkah dalam keadaan
haid. Dan aku belum sempat Thawaf di Ka’bah dan Sa’i antara Shafa dan
Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, beliau bersabda: “Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang
yang berhaji, hanya saja jangan engkau Thawaf di Ka’bah sampai engkau
suci (dari haid).” (HR. Bukhari nomor 1650 dan Muslim nomor 120/ Kitab
Al Hajj).
Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan
untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala, dan Al Qur’an termasuk dzikir
sebagaimana Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz
Dzikir (Al Qur’an) dan Kami-lah yang akan menjaganya.” (Al Hijr : 9)
Apabila seorang yang berhaji dibolehkan membaca Al Qur’an maka demikian
pula bagi wanita haid, karena yang dikecualikan dalam larangan Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada ‘Aisyah yang sedang haid hanyalah
Thawaf.
Adapun Jumhur Ahli Ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid
untuk membaca Al Qur’an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir
kepada Allah. Mereka ini mengkiaskan (atau menyamakan) haid dengan
junub, padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yang shohih yang melarang
orang junub untuk membaca Al Qur’an. Sedangkan hadis yang menyatakan:
“Tidak ada yang menghalangi Nabi untuk membaca Al-Qur’an kecuali Junub”
(HR. Abu Daud), hadis tersebut didhoifkan oleh sejumlah ulama di
antaranya Al-Bani dalam dhoif sunan Abi Daud hal 25. Asy Syaikh
Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa’ (1/183-187)
membawakan bantahan bagi yang berpendapat tidak bolehnya wanita haid
membaca Al Qur’an dan di akhir tulisannya beliau berkata: “Maka
kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita haid untuk
berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang
shahih yang jelas dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang
melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil yang memberi faedah
bolehnya (wanita haid) membaca Al Qur’an dan berdzikir sebagaimana
telah lewat penyebutannya.”
Kedua : Hukum Menyentuh Mushaf Bagi Wanita Haid
Berkata Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi: Mayoritas Ahli Ilmu
berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an. Namun
dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menetapkan hal tersebut tidaklah
sempurna untuk dijadikan sisi pendalilan. Dan yang kami pandang benar,
Wallahu A’lam, bahwasannya boleh bagi wanita haid untuk menyentuh mushaf
Al Qur’an. Berikut ini kami bawakan dalil-dalil yang digunakan oleh
mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an. Kemudian kami
ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut (untuk menunjukkan bahwasanya
wanita haid tidaklah terlarang untuk menyentuh mushaf)
1. Firman Allah Ta’ala: “Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang
disucikan.” (Al Waqi’ah : 79) Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam:
“Tidaklah menyentuh Al Qur’an itu kecuali orang yang suci.” (HR. Ath
Thabrani. Lihat Shahihul Jami’ 7880. Al Misykat 465) Jawaban atas dalil
di atas-
Pertama : Mayoritas Ahli Tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan
dengan dlamir (kata ganti) dalam firman Allah Ta’ala (Laa Yamassuhu)
adalah ‘Kitab Yang Tersimpan Di Langit’. Sedangkan (Al Muthahharun)
adalah ‘Para Malaikat’. Ini dipahami dari konteks beberapa ayat yang
mulia: “Sesungguhnya dia adalah Qur’an (bacaan) yang mulia dalam kitab
yang tersimpan, tidaklah menyentuhnya kecuali Al Muthahharun (mereka
yang disucikan).” (Al Waqi’ah 77-79) Dan yang menguatkan hal ini adalah
firman Allah Ta’ala: “Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang
ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi
berbakti (yakni para malaikat).” (Abasa : 13-16) Inilah pendapat
mayoritas Ahli Tafsir tentang tafsir ayat ini. Pendapat
Kedua: Tentang tafsir ayat ini bahwasannya yang dimaksud dengan Al
Muthahharun adalah kaum Mukminin, berdalil dengan firman Allah:
“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” (At Taubah : 28) Dan dengan
sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam: “Sesungguhnya orang Muslim itu
tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116) Dan Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melarang bepergian dengan membawa mushaf
ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan mereka. (HR. Muslim
dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma) Pendapat
Ketiga: Bahwasannya yang dimaksud dengan firman Allah (yang artinya):
“Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al Waqi’ah :
79) adalah tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan tidak ada
yang dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang Mukmin. Namun
adapula Ahli Tafsir (walaupun sedikit) yang berpendapat dengan pendapat
keempat, bahwa: Yang dimaksudkan dengan Al Muthahharun adalah mereka
yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan.
Pendapat Keempat: Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar dan kecil.
Pendapat Kelima: Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats
besar (janabah). Mereka yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf
memilih sisi yang pertama, dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat
tersebut yang menunjukkan larangan bagi wanita haid untuk menyentuh Al
Qur’an.
Dan telah lewat penjelasan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan Al Muthahharun dengan malaikat.
2. Dalil Kedua : Tidak aku dapatkan isnad yang shahih, tidak pula
yang hasan, bahkan yang mendekati shahih atau hasan untuk hadits yang
dijadikan dalil oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al
Qur’an. Setiap sanad hadits ini yang aku dapatkan, semuanya tidak lepas
dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa terangkat kepada derajat
shahih atau hasan dengan dikumpulkannya semua sanadnya atau tidak?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat:
Asy Syaikh Albani rahimahullah menshahihkannya dalam Al Irwa’
(91/158). Bila hadits ini dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya
sebagaimana pengertian ayat yang mulia di atas. (Jami’ Ahkamin Nisa’
1/187-188) Asy Syaikh Al Albani rahimahullah sendiri ketika menjabarkan
hadits di atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘thahir’
adalah orang Mukmin baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil
ataupun dalam keadaan haid. Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla berpendapat:
“Membaca Al-Qur’an, dan sujud di dalamnya, menyentuh mushaf dan dzikir
kepada Allah boleh dilakukan baik dalam keadaan punya wudhu atau tidak,
bagi yang junub maupun wanita haidh. Penjelasan hal tersebut, karena
Membaca Al-Qur’an, dan sujud di dalamnya, menyentuh mushaf dan dzikir
kepada Allah merupakan perbuatan baik yang disunnahkan dan pelakunya
akan diberi pahala. Barangsiapa yang berpendapat adanya larangan
melakukannnya dalam keadaan tertentu, maka orang tersebut wajib
menunjukkan dalilnya” (Al-Muhalla Bil Aatsaar I/94-95 Masalah No. 116)
Syeikh Muhammad bin Utsaimin setelah memamparkan perbedaan ulama
tentang orang yang tidak dalam keadaan suci dan wanita haidh memegang
mushaf berkata: “Yang lebih utama, orang yang tidak dalam kedaaan suci
tidak boleh menyentuh Al-Mushaf. Adapun jalan keluar bagi perempuan yang
sedang haidh adalah mudah -Al-Hamdu Lillahi-, dimungkinkan baginya
untuk memakai sarung tangan dan membolak-balikan mushaf dengan kedua
tangannya serta memegangnya” (Fatawa Al-Haidh Wal-Istihadhoh Wan-Nifas
hal 116-117)
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Sumber : www.syariahonline.com
Komentar
Posting Komentar